November 23, 2012

Yang Terhormat vs Yang Masih Belajar


Sudah lama saya prihatin...
Sejak runtuhnya segala rezim keterikatan, maka runtuh pula mengikutinya segala tembok kesantunan yang menjadi koridor utama dalam berkomunikasi dan bersapa. Dengan mengatasnamakan reformasi dan kebebasan mengemukakan pendapat, orang sepertinya sudah lupa mengenakan jubah kesopanan dan sabuk tata krama dalam berbicara. Segala sesuatu dilihat dengan pandangan yang skeptis, ditelaah dengan pikiran yang negatif, dan dikemukakan dengan kalimat yang agresif. Kemana larinya sifat sopan dan santun antara yang muda ke yang tua, antara yang satu ke yang lainnya ... ?

Kemarin saya baca di Tempo online komentar seorang bapak yang terhormat sebagai reaksi terhadap tindakan dan ungkapan sekelompok pencari ilmu di salah satu kota besar di Eropa. Saya bukan mahasiswa. Bukan pula pekerja, apalagi seorang yang dikaryakan sebagai orang terhormat yang mewakili rakyat. Saya, hanyalah seorang ibu 2 anak yang urusannya melulu sama dapur dan rumah. Namun sebagai individu, saya ingin mengemukakan isi pikiran saya melalui media ini. Sekalipun ini media pribadi, dibaca hanya oleh teman-teman dan orang terdekat saja, tapi fakta bahwa media ini di dunia maya dan begitu mudah diunggah, memberi saya kesadaran penuh bahwa saya dapat menggunakan media ini untuk berbicara.
Jika setelah membaca lalu anda tidak setuju dengan saya, tidak menjadi masalah. Karena seyogyanya pemaparan pendapat dan isi pikiran bukan supaya semua orang setuju, tapi untuk semata-mata memperkaya setiap individu dengan aneka rupa pandangan dan pemahaman agar ketika menentukan posisi dimana hendak berdiri, keputusan tersebut diambil berdasarkan informasi yang penuh, bukan berdasarkan informasi yang timpang.


Maaf lho ya... Ini cuma pendapat seorang ibu rumah tangga yang bodoh... Tapi menurut saya, komentar para pelajar tersebut adalah komentar yang bodoh. Dan wajar kalau komentar sebodoh itu, dijawab juga dengan jawaban yang bodoh oleh bapak yang terhormat itu.

Setiap kunjungan belajar, apalagi kunjungan untuk mempelajari sistem yang sudah terbukti berhasil, adalah baik. Mengapa harus mempersoalkan kedatangan rombongan terhormat itu untuk studi banding? Bahkan seorang karyawan di kantor daerah bisa sewaktu-waktu ditugaskan ke pusat untuk belajar sesuatu yang baru, jika dibutuhkan.
Hmm... saya ambil contoh suami saya saja. Beberapa kali dia dikirim oleh perusahannya untuk melakukan kunjungan kerja ke cabang perusahaan di negara lain hanya untuk transfer knowledgeatau mempelajari sistem. Logikanya, hal tersebut bisa dikerjakan via telpon atau email, bukan??Transfer knowledge antara mereka rasanya jauh lebih mungkin dikerjakan via telepon mengingat sebagai sesama engineer obrolan mereka sudah pasti "satu frekuensi". Tapi toh tetap saja mereka butuh pertemuan tatap muka agar kedua belah pihak memperoleh pemahaman yang sama terhadap suatu sistem/ilmu tertentu.
Karena itu menurut saya sangat masuk akal jika bapak/ibu wakil rakyat tersebut mengadakan studi banding ke negara yang lebih maju. Saya bukan bermaksud membela para anggota dewan rakyat yang (katanya) terhormat itu. Tapi memang benar, untuk sebuah transfer knowledge butuh adanya satu kunjungan langsung, untuk melihat dan mengalami sendiri suatu sistem dalam jarak pandang dekat. Tidak selamanya yang kita baca di internet adalah applicable dan doable. Apalagi untuk orang-orang yang banyak kekurangan seperti saya, butuh melihat langsung untuk mengerti tidak hanya membaca untuk belajar. Orang yang membaca saja kan kadang-kadang suka salah menginterpretasi, bukan begitu?? ;)

Yang harusnya menurut saya jadi soal adalah apa tindak lanjut dari kunjungan kerja tersebut. Adakah hasil konkrit dari perjalanan dinas itu, khususnya untuk rakyat Indonesia. Dan anda sekalian, para mahasiswa yang luar biasa, silahkan bereaksi keras jika manfaat dan hasil nyata dari kunjungan kerja mereka nihil adanya.
Saya yakin, orangtua anda tidak akan mempermasalahkan kenapa anda memilih sekolah jauh ke luar negeri. Tapi yang bakal jadi pertanyaan orangtua adalah sumbangsih apa yang kelak bisa anda berikan untuk keluarga setelah lulus nanti. Betul tidak...?? ;)
 
Lalu, jika sesudah pertemuan tatap muka selesai kemudian beliau-beliau pergi plesiran, janganlah terlalu dibesar-besarkan. Buat saya itu sangat biasa. Jaman saya mahasiswa saja, ketika dikirim ke UGM mewakili Unsrat, saya dan teman-teman berusaha mengambil waktu untuk jalan-jalan ke Malioboro. Sebagai mahasiswa dari daerah, rasanya keinginan kami sangat wajar untuk memperkaya wawasan dengan mengunjungi tempat wisata terkenal di Yogyakarta. Antar daerah saja seperti itu, apalagi antar negara. Bagaimana menurut anda..??
Coba cross-check dengan mahasiswa Indonesia yang dikirim oleh universitas untuk membawa harum nama bangsa dalam acara-acara internasional di suatu negara tertentu; Apakah mereka selesai acara langsung balik kanan ke penginapan dan tidak kemana-mana lagi? Apakah setelah seluruh rangkaian acara selesai mereka buru-buru packing koper dan pulang?? Saya rasa tidak !!

Orang mau belanja pun, janganlah jadi masalah besar. They are people, not saint. Saya saja tahu beberapa anak Indonesia yang kuliah disini, yang dalam hal berbelanja pengeluarannya bahkan melebihi pengeluaran saya sebagai ibu rumah tangga biasa. 
Dan mohon maaf, para sobat intelektual, menurut saya nguntilin orang kemana-mana, membuat foto atau video tentang apa yang mereka lakukan lalu mempublikasikannya, itu bukan gaya para intelektual, tapi pekerjaan paparazzi. Saya yakin anda para pencari ilmu bukan para pencari berita. Iya kan??? ^_____^


Ijinkan saya berandai-andai sejenak. Jika saya termasuk dalam kelompok mahasiswa itu, yang akan saya permasalahkan adalah mengapa dewan rakyat mengirim wakil-wakil yang tidak kompeten. Menurut saya adalah hal yang tidak bisa ditawar lagi bahwa seorang wakil rakyat yang diutus ke luar negeri untuk belajar sesuatu, menguasai dengan aktif (minimal percakapan dasar) bahasa Inggris. Itu sudah harga mati. Masa kan rakyat lebih pintar dari wakil rakyat ... ?? :p
Dan saya akan mempertanyakan, mengapa menyewa hotel dan bus yang besar?? Wakil rakyat itu seharusnya merakyat. Tinggallah di rumah warga Indonesia atau minimal di rumah mewah duta besar yang terhormat. Saya yakin, mereka pasti tidak berkeberatan menjadi tuan dan nyonya rumah.
Dan sepanjang kunjungan di luar negeri, gunakanlah transportasi umum yang ada di negara tersebut. Jangan sewa bus, apalagi bus berukuran besar. Bayarnya mahal padahal orang yang naik tidak seberapa banyak. Dengan tinggal di rumah warga dan naik transportasi umum, bukan saja anggaran kunker bisa ditekan serendah mungkin, tapi juga sekaligus bisa jadi bahan masukan untuk diterapkan di Indonesia kedepannya.
Setuju tidak dengan saya ... ?? ^______^

Jadi, hai adik-adik tercinta, kalau ada kunjungan kerja seperti ini lagi, jangan ditolak. Terima saja... Jadilah anak bangsa yang ramah dan santun dalam menerima kunjungan para 'orangtua'. Tapi di sepanjang kunjungan beliau-beliau, jadilah juga control system yang mengatasnamakan rakyat di ‘rumah’. Kalau setelah pertemuan mereka mampir shopping, ya jangan protes. Kan orangtua kalian juga kalau sowan kesini pastinya ada acara shoppingnya toh....?? ;) Kalau ada yang ngacir ke mall ketika jam meeting, atau tidak menggunakan kunjungan yang ada untuk tujuan yang benar, maka bersuaralah dengan berani dan keras .. !!


Nah para putra putri terbaik ibu pertiwi... Jangan sampai kebebasan berpendapat kita jadi kebablasan ya. Hak bicara gunakanlah pada tempatnya, dan digunakan setelah dipikirkan dengan bijak sebelumnya. Saya tahu kalian bisa ^____^
Selamat  belajar tentang hidup, untuk sebuah penghidupan yang lebih baik. 
Merdeka !!!

Much Love,